Apakah cukup jauh kita berjalan?
Cukup keraskah usaha kita untuk meraih sesuatu yang kita ingini? Atau,
hanya fantasi sesaat saja? Atau, ledakan emosional merasa hebat dan
rasa-rasanya bisa menaklukan yang satu itu? Lantas, ketika dihadapkan
pada satu gelombang, secuil liku, dan sejumput pilu, lalu langkah ini
mundur seribu? Rasanya malu disebut pecundang, getir tiada pantas
dijuluki pejuang. Diri lupa siapa sebenarnya kita. Limbung dan hilang
pegangan. Akhirnya jatuh menghujam bumi, menyesakkan dada.
Allah
sendiri menciptakan kita dari sebuah kata benda yang berarti kekokohan,
pengikat, penyubur, menyerap, dan banyak lagi sifat tanah yang bisa
digunakan untuk menggambarkan. Inilahkita sebenarnya. Lantas, asal
mulanya rasa sombong itu dari mana? Kehendak siapa? Menyambung itu
semua, kitalah hamba yang sangat rendah, sangat lemah, tanpa daya, mudah
patah, lembek, lentur, kaku, kering, retak, dan masih saja menerka
suatu hal dengan pola fikir dan pola duga kita saja. Parah!
Siang
ini, hujan kembali turun, mengetuk-ngetuk atap rumahku. Jatuh ke bumi
dan masuk ke dalam tanah. Sisanya tamasya sebentar, mengalir di
parit-parit menyusuri permukaan untuk mencapai titik yang lebih rendah.
Akhirnya, kembali lagi ke dalam tanah. Hujan siang ini mengajarkan
sesuatu. Yang sudah di atas sekalipun, siap untuk jatuh, menghujam, dan
menyusup ke dalam tanah. Untuk fungsi yang tidak habis, selagi di tanah
ia menyuburkan dan menghidupi bersama jutaan kubik teman-temannya di
bawah sana. Ia menyejukkan.
Memaknai
luas karunia-Nya. Mentadaburi begitu nikmatnya ketika hati lapang atas
berserah diri. Sekali lagi, bergumam dalam hati, “Tak ada secuil pun
nikmat-Mu yang sanggup untuk kudustai.” Walaupun masalah belum dan tak
pernah selesai, masih menggunung. Namun, hikmah dan ibrah mengantarkan
kita pada fase tenaga baru untuk bisa menaklukan dengan tetap merasa
hamba pada-Nya. Untuk bisa menyelesaikan dengan beriringan rasa berserah
diri pada-Nya, tawakal tentang semua yang menjadi keputusan-Nya.
Sekarang,
jika melangkah dan berbuat sesuatu sudah faham urutannya. Meskipun
tidak mesti berurut, tapi rasa keluh kesah baiknya dieleminasi saja,
masukkan ke dalam wadah pembuangan sampah dan buanglah ke tempat yang
jauh, agar tak kembali lagi. Karena sesulit apapun, diri ini sudah
diajari untuk menyerahkan pada-Nya Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa. Dalam
doa di ujung senja, aku merasa bangkit dalam cinta. Lewat kuncup-kuncup
bunga yang mekar dan semerbak harumnya, menembus dimensi kekalutan dan
kegamangan dengan “pelukan-Nya”. Mensyukuri, menyabarkan, mengikhlaskan
dengan tetap berserah, bahwa aku tetaplah hamba.
No comments:
Post a Comment